davidp90Avatar border
TS
davidp90
SKUAT INDIGO 2 BAB 12 SIASAT DAN SANDIWARA
      <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-formatemoticon-Embarrassmentther; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-familyemoticon-Swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
BAB 12 SIASAT DAN SANDIWARA

            Siapa yang akan menyangka sosok Ki Blinger yang sekarang jika ia melihat bagaimana dulu masa kecilnya. Ki Blinger kecil adalah cerminan dari kedua orang tua dan juga kakek-neneknya hingga buyut dan leluhurnya dahulu yang selalu tegak dalam hidup dalam ajaran agama yang lurus. Dibandingkan dengan teman-teman sebayanya Suryo jauh meninggalkan mereka dalam bab ilmu serta amalan-amalannya. Anak bungsu dari tokoh masyarakat itu dikenal cerdas dan rajin. Dari sejak kecil ia sudah mampu untuk mengimbangi laku tirakat yang dilakukan oleh orang-orang dewasa. Namun sayang di tengah pejalanannya itu ia terjerat. Kakak perempuannya sendirilah yang sering merayunya untuk ikut dalam kegiatan-kegiatannya yang lambat laun meninggalkan kewajiban-kewajibannya yang sesungguhnya.

            Tidak juga banyak yang tahu bahwa dahulu Ki Blinger pernah menikah. Ia juga dikaruniai seorang putri yang ia beri nama Rahayu. Belum genap putrinya yang amat ia cintai berusia satu tahun Suryo harus memutus ikatan-ikatan kasih itu dengan meninggalkan istri dan juga  buah hatinya. Itu semua adalah resiko dari perjanjian-perjanjiannya dengan para iblis dan antek-anteknya. Ki Blinger tak ingin melibatkan kedua malaikatnya. Meski gejolak jiwa itu sangat menyayat tetapi ia tidak ingin jika istri dan anaknya tetap bersamanya justru akan membahayakan bagi mereka.

            “Yuk. Ono dayoh (Ada tamu)”, suami Rahayu memanggil istrinya.

            “Sopo? (Siapa?)”, Rahayu sambil berjalan keluar untuk menemui tamunya.

            “O.. ada Mbah Suryo”, sebutan itu Rahayu tujukan kepada Ki Blinger yang setiap kali berkunjung ke rumah anaknya selalu menanggalkan atribut kedukunannya.

            “Masih ingat sama Mbah Suryo tidak mas? Itu lho teman karib bapak yang dulu aku sering cerita. Dulu sudah pernah ketemukan?”, tutur Rahayu kepada suaminya.

            “Mana aku lupa. Dulu mbah juga hadir di pernikahan kita”, jawab sang suami.

            “Aku saja yang buat minum”, suami Rahayu meninggalkan istrinya dengan tamunya di ruang tamu melihat kedekatan mereka berdua.

            “Anakmu kemana?”, tanya Ki Blinger.

            “Sedang mengaji diantar ibu. Sebentar lagi juga mereka pulang mbah”, jawab Rahayu.

            Benar saja. Kepulangan anak Rahayu dan ibunya datang lebih cepat dibandingkan minuman yang dijanjikan dibuat tapi belum juga keluar.

            “Ha ini Mbah. Suryani sini ada Mbah Suryo”, ujar Rahayu kepada anaknya yang baru berusia 5 setengah tahun.

            “Ini mbah Suryo yang dulu sering mijitin Suryani kalau lagi rewel”, ujar Rahayu.

            “Pripun kabare njenengan mas (Bagaimana kabar anda mas?)”, tanya ibu Rahayu kepada Ki Blinger.

            Sebuah sandiwara batin yang dilakukan oleh Ki Blinger dan mantan istrinya. Betapa hati mereka tersayat-sayat. Semenjak berpisah dari suaminya ibu Rahayu pun tidak pernah menikah lagi. Rahayu tidak pernah tahu bahwa orang yang sering mengunjunginya itu adalah ayah kandungnya sendiri. Suryani kecil juga tidak akan pernah tahu bahwa tokoh supranatural kondang itu adalah kakeknya.

***

            Sebelum terbit matahari. Setelah waktu subuh. Itu adalah waktu yang digunakan sebagai syarat untuk pelaksanaan Upacara Ritual Ajian Perut Bumi. Kawah Sileri di wilayah Dataran Tinggi Dieng adalah tempat dimana Nyi Blinger akan menutup laku ritualnya untuk mendapatkan ajian terlarang yang dari dahulu sudah diimpi-impikannya.

            Nyi Blinger bersama dengan pasukannya sudah berada di lokasi. Turut juga Ki Blinger yang berada di sana untuk mendampingi saudaranya. Ia dipercaya Nyi Blinger untuk menjaga keberlangsungan ritualnya dari gangguan-gangguan yang bisa saja muncul sewaktu-waktu secara tiba-tiba.

            Akbar bersama Amelia dan Mbah Sam. Ridwan dengan lima orang santri yang diutus oleh Sang Kyai. Mereka segera bergegas menuju ke Kawah Sileri sesuai waktu yang telah ditentukan. Mereka bersama-bersama akan memerangi Nyi Blinger beserta anak buahnya yang bermaksud untuk mengusai Ajian Perut Bumisebuah ilmu hitam yang sangat membahayakan. Mereka akan menyergap dan menggagalkan proses ritual tersebut.

            Tepat di depan Kawah Sileri yang masih aktif Nyi Blinger telah bersiap dengan segala syarat untuk melakukan laku ritual terakhirnya. Tidak jauh dari sana Ki Blinger mendampingi saudara tuanya. Pasukan Nyi Blinger yang terdiri dari puluhan sosok jangkung berkepala plontos membuat benteng mengitari area dimana majikan mereka sedang melangsungkan upacara. Sementara mata-mata yang bersembunyi di balik pohon-pohon hutan yang mengelilingi Kawah Sileri sudah menunggu untuk menyerang mereka.

            Nyi Blinger sudah bersilah di depan sesaji-sesaji yang disiapkannya sebagi syarat upacara ritualnya. Kepala Kerbau Bule, Bunga Beraneka Warna, Sepasang Gagak Putih, dan syarat-syarat tambahan lainnya. Itulah syarat barang atau benda mewujud yang harus diadakan. Waktupun tiba. Nyi Blinger mulai merapalkan mantra-mantra kuno yang telah dihafalkannya.

            Gulita menaungi Sileri. Ritual puja-pujaan kepada iblis sudah dimulai. Ridwan bersama Buyut memimpin para santri untuk melakukan penyerangan. Mereka menyonsong barikade pertahanan yang dibuat oleh pasukan Nyi Blinger sosok-sosok jangkung plontos. Makhluk-makhluk itu pun sama sekali tidak heran dengan kedatangan Ridwan dan kawan-kawannya. Seperti sudah menunggu kedatangannya anak buah Nyi Blinger pun menyambut mereka. Ridwan yang memimpin di depan didahului oleh para santri yang mengikutinya. Ia kembali dibuat tersenyum oleh anak-anak muda itu. Ia melihat banyak bayangan sosok santri-santri lain yang turut serta dalam pertempurannya.

            Ridwan dan kelompoknya adalah umpan pengalihan untuk pasukan Nyi Bilnger. Akbar yang akan langsung menghadapi Nyi Blinger dan menggagalkan ritualnya. Akbar dan Kera Putih Raksasa dengan mudah melewati kerumuman pertempuran untuk mendekat ke tempat dimana Nyi Blinger berada. Dengan sangat tidak beretika Kera kodam Akbar datang lalu mengacak-acak sesaji yang berada di hadapan Nyi Blinger. Buyar sudah ritual yang sedang dilakukan olehnya. Kini Akbar mulai mendekat ke Nyi Blinger untuk menyerangnya. Dengan sigap Ki Blinger yang berada di sana yang menyaksikan itu semua lantas menarik kakaknya untuk menjauh dari kedatangan mereka.

            “Bajingan. Sekarang giliranmu Yo. Bunuh bocah-bocah itu untukku!”, Nyi Blinger dengan penuh amarah menyuruh saudaranya untuk menghadapi Akbar dan Kera Raksasa.

            Ki Blinger yang berada tepat di belakang Nyi Blinger lantas mengeluarkan senjata berupa dua buah sabit kecil di kedua tangannya. Itu adalah senjata andalan Ki Blinger yang sudah banyak menghabisi nyawa musuh-musuhnya. Ia pun hendak melakukan serangan. Tapi tiba-tiba tubuhnya tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa mengendalikan kemauan dan badannya sediri. Dan apa yang terjadi selanjutnya benar-benar mengejutkan semua orang yang berada di sana. Ki Blinger menggorok lehernya sendiri sampai terputus dengan menggunakan dua buah senjata andalannya itu.

            “Asu kowe Yo (Anjing kamu Yo)”, geram Nyi Blinger.

            “Ternyata kamu dalang dibalik semua ini”, ucap Nyi Blinger.

            Dari dahulu Ki Bilnger selalu tunduk dan patuh terhadap kakaknya. Itu bukan tanpa suatu sebab. Nyi Blinger dengan tega dan sadar telah melakukan Ajian Paku Jiwaterhadap adiknya sendiri. Jiwa Ki Blinger terikat dengan jiwa Nyi Blinger. Itu juga alasan yang mempengaruhi Ki Blinger dalam mengambil keputusan-keputusan menyangkut kehidupan pribadinya. Saudara tuanya itu memang benar-benar bengis dan gila. Ketika Ki Blinger hendak menyerang untuk menghabisi nyawa kakaknya yang dianggapnya tengah lengah Ajian Paku Jiwa itu mengisyaratkan niat saudaranya yang sesungguhnya kepada Nyi Blinger.

jiyanq
redrices
heyholetsbro
heyholetsbro dan 2 lainnya memberi reputasi
3
489
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
jiyanqAvatar border
jiyanq
#1
Belum updet lagi,gan?
0
Tutup