Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Menolak Lupa, 26 Tahun Kerusuhan Mei 1998 di Kota Solo



SOLOPOS.COM - Ilustrasi kerusuhan Mei 1998 di kawasan Coyudan (JIBI/SOLOPOS/Dok)
Solopos.com, SOLO–26 tahun silam, tepatnya pada 14 Mei 1998 Kota Solo luluh lantak.

Api yang berkobar membakar sejumlah bangunan di pusat kota, membuat warga pontang-panting. Pintu-pintu masuk kampung dijaga warga. Mereka membawa senjata apa adanya untuk sekadar membela diri.

Asap hitam membumbung tinggi, terlihat dari kejauhan, seiring masalah yang sedang berkecamuk. Suasana pada malam hari semakin mencekam, sejalan dengan aksi penjarahan oleh sekelompok orang.

Dalam dua hari masyarakat kota ini hidup dalam rasa ketakutan. Mereka yang ingin selamat memilih tinggal di rumah saja. Sebab mau keluar rumah untuk bekerja pun situasinya sudah tidak memungkinkan.

Demikian sekelumit gambaran situasi Kota Solo ketika terjadi tragedi kerusuhan pada 14-15 Mei 1998. Seperti disampaikan Sejarawan Kota Solo, Heri Priyatmoko, kepada Solopos.com, Selasa (14/5/2024).

“Saya ketika itu masih sekolah SMP. Saya ingat betul pembakaran dan penjarahan di sekitar Solo Baru. Saya ikut menonton, bahkan lutut terluka akibat lari ditabrak motor saat kondisi sedang chaos,” tutur dia.

Masih lekat dalam ingatan Heri, kerusuhan saat itu tidak hanya terjadi di pusat Kota Solo. Daerah-daerah sekitar Solo terimbas. Salah satunya di kawasan Solo Baru, Sukoharjo. Suasana mencekam.

“Kerusuhan yang terjadi menyeramkan dan bersifat lokal. Juga massal, kolektif, muncul secara spontan dan sporadis, endemis, tempo kerusuhan yang singkat, juga mobilitas yang begitu tinggi,” urai dia.

Yang membuat warga merasa ketakutan, Heri menjelaskan kerusuhan yang terjadi ketika itu cenderung menggunakan aksi kekerasan atau violence, brutal, beringas, vandalistik, dan destruktif atau merusak.

Dia berpendapat kerusuhan Mei 1998 di Solo perlu untuk terus dibeberkan dari waktu ke waktu. Tujuannya agar publik benar-benar mengetahui rangkaian dan sebab-akibat dari konflik yang terjadi.

“Sepahit dan sejahat apa pun harus diingat agar penduduk Solo dan sekitarnya tidak terjebak pada masalah yang sama, atau mengulang kejadian memalukan membakar kota sendiri,” sambung dia.

Mengutip Friedrich Nietzsche, Heri mengatakan melupakan dan mengingat masa lalu yang kelam sama-sama penting. Masyarakat perlu untuk mengingat masa kelam agar bisa bertahan untuk hidup.

Lebih dari itu, masyarakat dapat merancang masa depan dengan lebih baik. Sikap historis itu mau tidak mau harus dilakukan masyarakat. Di sisi lain masyarakat juga harus bisa melupakan pengalaman pahit.

Hal itu tentu agar luka batin yang begitu mendalam bisa tersembuhkan seiring berjalannya waktu.

Sedangkan Santoso Azi pada 2021 dalam disertasinya berjudul Dampak Kerusuhan Mei 1998 Terhadap Perekonomian Masyarakat Etnis Tionghoa Surakarta, menyebut kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Solo sudah berkembang sejak masa kolonial Hindia-Belanda.

Dinamika kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Solo mengalami beberapa situasi. Mulai dari munculnya kebijakan pemerintah yang diskriminatif hingga adanya peristiwa rasial yang dihadapkan kepada etnis Tionghoa pada tahun 1972, 1980 dan puncaknya terjadi pada tahun 1998.

Kerusuhan Mei 1998 di Solo dilatarbelakangi beberapa tuntutan pemerintahan pusat yang menginginkan lengsernya Soeharto serta keinginan reformasi.

Adanya kerusuhan tersebut berdampak pada beberapa bidang kehidupan masyarakat, salah satunya di bidang perekonomian khususnya bagi Etnis Tionghoa yang memiliki usaha.

Mereka mengalami kerugian akibat dari pembakaran dan penjarahan toko sehingga banyak tenaga kerja yang diberhentikan.

https://soloraya.solopos.com/menolak...a-solo-1921682



Bikin Trenyuh, Kisah Tokoh Tionghoa Solo Selamat dari Kerusuhan 14-15 Mei 1998

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kerusuhan Mei 1998 di Plasa Singosaren (JIBI/SOLOPOS/Dok)
Solopos.com, SOLO—Tokoh masyarakat Kota Solo yang merupakan warga keturunan Tionghoa, Sumartono Hadinoto, ternyata juga tidak luput dari sasaran amukan massa ketika tragedi kerusuhan 14-15 Mei 1998.

Namun, dia selamat karena ditolong para tetangganya di Sorogenen, Kampung Sewu, Jebres, ketika meletus kerusuhan. Sumartono dan keluarganya dievakuasi tetangganya lewat lubang tembok belakang rumahnya.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Tahu-tahu depan rumah saya kacanya pecah dilempar batu. Di depan rumah itu sekelompok orang banyak banget. Saya dikabari RT/RW, lebih baik saya mengungsi ke belakang,” ujar dia, Rabu (15/5/2024) pagi.

Mendapat tawaran itu, Sumartono tidak punya pilihan lain. Dia pun mengiyakan. “Tembok belakang rumah saya akhirnya dibobol selubang badan, lalu saya sekeluarga dievakuasi lewat lubang tersebut,” terang dia.

Namun, karena lubang darurat yang dibuat cukup sempit, kulit Sumartono dan keluarga terluka. Lubang itu dibuat oleh para tetangga Sumartono atas persetujuannya. Lubang itu tersebut hanya sebadan orang.

“Jadi tembok belakang dibobol selubang badan, saya keluarnya kepala dulu, sambil rebahan, ditarik ke belakang. Kayak kalau dulu saya dengar pencuri kalau mbobol rumah kan begitu masuknya rebahan,” urai dia.

Disinggung kebaikan para tetangga rumah, menurut Sumartono, karena memang selama ini punya hubungan baik. Sejak masih kecil, Sumartono sering bermain di kampung belakang rumahnya dengan tetangga.

“Kulit saya beret-beret karena ditarik ke belakang begitu ya. Ibu, saya, istri, anak, menantu, ditarik ke belakang. Kami tiga hari tidur di belakang rumah. Saat itu saya rasakan betul prinsip pagar mangkuk,” aku dia.

Sumartono menceritakan dirinya dengan warga kampung di belakang rumahnya sudah benar-benar menyatu. Sehingga ketika ada ancaman yang membahayakan keluarga Sumartono, para tetangga mau melindungi.

“Soalnya saya sejak kecil kalau main ke belakang rumah. Dulu kalau nekeran istilahnya main kelereng, gobak sodor, layang-layang, di halaman belakang, dengan teman-teman kampung. Kami sudah menyatu,” urai dia.

Situasinya berbeda dengan kampung boro yang ada di depan rumah Sumartono. Menurut dia, ketika terjadi kerusuhan tersebut para kaum boro menjadi bagian yang merusak. Termasuk menjarah rumah Sumartono.

Dia berharap tragedi kerusuhan 14-15 Mei 1998 di Kota Solo tidak terulang lagi, dan menjadi pelajaran penting setiap bagian kota ini. Sebab dampak dari kerusuhan tersebut benar-benar membuat Solo jatuh.

https://soloraya.solopos.com/bikin-t...i-1998-1921902


Kisah Solo 1998... dampaknya sangat luarbiasa bagi Solo...

pernah nelusurin kampanye pak Jokowi waktu jadi calon wali kota dan ini salah satu yang menarik soal 3 identitas berbeda dengan Tionghoa Solo, Batak Solo, dan Jawa Solo.



Black Angel
aldonistic
bonek.kamar
bonek.kamar dan 3 lainnya memberi reputasi
4
624
34
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
leonosphireAvatar border
leonosphire
#6
Di jawa heboh bgt pas 98..
Liat di tipi serem..
Tapi di kampung gw waktu itu normal2 aja..
Kaga ada yg bisa dijarah, kismin semua kita2..
aldonistic
aldonistic memberi reputasi
1
Tutup